Hindari Kesalahan Umum Saat Menerapkan Strategi Desain Kemasan

Seringkali produk sudah berkualitas, rasa enak, dan konsisten, tetapi penjualannya tetap datar. Masalahnya biasanya bukan pada isi produk, melainkan bagaimana produk tersebut “berbicara” lewat kemasan. Merapikan strategi desain kemasan bukan sekadar estetika; ini langkah penting agar produk lebih mudah dipilih di rak yang penuh pesaing.

Dengan mengenali kesalahan umum, Anda bisa memperbaiki arah lebih cepat dan mengurangi biaya untuk redesign berulang. Artikel ini membantu Anda mengidentifikasi jebakan yang sering dialami brand di Indonesia, lengkap dengan contoh praktis dan cara mengatasinya.

1. Tidak punya tujuan jelas untuk kemasan

Banyak tim langsung memilih warna dan bentuk tanpa menjawab satu pertanyaan kunci: “Peran utama kemasan ini apa?”. Akibatnya, desain terlihat bagus di layar, tetapi gagal berfungsi di rak toko atau di marketplace.

Secara umum, kemasan memiliki beberapa tujuan utama yang perlu diprioritaskan:

  • Menarik perhatian di rak yang ramai.
  • Memperjelas manfaat utama produk.
  • Membangun identitas dan konsistensi brand.
  • Melindungi produk selama distribusi dan penyimpanan.
  • Mempermudah penggunaan dan penyimpanan oleh konsumen.

Masalah timbul ketika semua tujuan ingin dikejar sekaligus tanpa urutan prioritas. Contohnya, kemasan camilan UMKM yang ingin tampak premium, informatif, ramah anak, dan penuh ornamen. Hasilnya justru membingungkan, pesan utama tidak terbaca, dan brand sulit diingat.

Sebelum memberi brief ke desainer, rumuskan dalam satu kalimat: “Kemasan ini terutama harus melakukan apa?”. Misal: “Kemasan harus jelas menunjukkan ini keripik singkong pedas khas Garut, bukan keripik biasa”. Dengan begitu, setiap keputusan desain menjadi lebih terarah.

2. Informasi berantakan dan sulit dibaca

Pembeli biasanya melirik produk hanya beberapa detik. Jika dalam waktu singkat mereka tidak tahu produk ini apa, rasa atau variannya apa, dan kelebihannya apa, mereka akan beralih ke merek lain. Di sinilah banyak desain kemasan gagal karena informasi utama tidak diurutkan dengan baik.

Beberapa kesalahan umum pada informasi kemasan:

  • Teks terlalu kecil atau kontras rendah sehingga sulit dibaca di rak minimarket dengan pencahayaan terbatas.
  • Tidak ada hierarki informasi yang jelas: nama produk, varian rasa, dan klaim utama bercampur tanpa penekanan.
  • Menumpuk banyak klaim sekaligus seperti “tanpa pengawet”, “organik”, “premium”, “homemade”, hingga konsumen bingung mana yang penting.
  • Informasi penting (komposisi, berat bersih, tanggal kedaluwarsa) diletakkan di area yang mudah terlipat atau tersembunyi.

Coba tes sederhana: tampilkan desain kemasan selama 3 detik kepada orang yang belum kenal produk Anda. Tanyakan tiga hal: ini produk apa, varian atau rasa apa, dan apa kelebihan utamanya. Jika mereka ragu, berarti informasi di kemasan perlu disusun ulang.

Gunakan prinsip hierarki visual: ukuran huruf, ketebalan, warna, dan posisi harus mengarahkan pandangan. Nama produk dan varian sebaiknya paling menonjol, lalu klaim utama yang relevan, sementara detail lain tetap ada tapi tidak mendominasi.

3. Desain tidak konsisten dengan brand dan target pasar

Kemasan yang efektif tidak hanya enak dilihat, tetapi juga sesuai karakter brand dan selera audiens. Banyak tim terjebak karena terlalu mengikuti tren atau contoh kompetitor hingga kehilangan identitas sendiri.

Beberapa bentuk ketidakkonsistenan yang sering terlihat di pasar Indonesia:

  • Produk dengan positioning premium menggunakan visual dan font yang terasa murah atau generik.
  • Brand yang ingin dekat dengan anak muda urban justru memakai warna kusam dan layout kaku seperti produk korporat lama.
  • Produk sehat dan alami diberi efek gradien dan visual yang tidak mencerminkan kesederhanaan dan keaslian.

Sebelum menentukan arah visual, jelaskan profil audiens utama: gaya hidup, daya beli, kebiasaan belanja, serta bagaimana mereka memotret dan membagikan produk di media sosial. Misalnya, camilan sehat untuk pekerja kantoran di Jakarta perlu nuansa berbeda dari camilan untuk keluarga di kota kecil.

Konsistensi penting antar lini produk. Saat menambah varian rasa atau ukuran, pastikan elemen kunci seperti logo, warna utama, dan gaya ilustrasi tetap seragam. Dengan begitu, konsumen bisa langsung mengenali produk Anda meski hanya sekilas di feed marketplace atau etalase toko.

Jika Anda mengembangkan produk makanan, pertimbangkan juga aspek fungsional bahan kemasan. Referensi seperti panduan memilih kemasan makanan yang praktis untuk pelaku usaha membantu menyelaraskan aspek visual dengan kebutuhan keamanan dan daya tahan produk.

4. Mengabaikan kebutuhan praktis dan regulasi

Visual menarik akan kehilangan nilai jika kemasan sulit dibuka, mudah bocor, atau tidak memenuhi ketentuan label pangan. Di Indonesia, konsumen semakin memperhatikan komposisi, izin edar, dan klaim kesehatan. Jadi kemasan harus memadukan estetika dan kepatuhan.

Kesalahan terkait aspek praktis dan regulasi antara lain:

  • Menggunakan bahan yang tidak cukup kuat untuk jalur distribusi tertentu sehingga kemasan rusak saat sampai ke toko atau konsumen.
  • Mengutamakan bentuk unik hingga menyulitkan penataan di rak atau pengiriman dalam kardus, yang menaikkan biaya logistik.
  • Menempatkan informasi wajib seperti komposisi, berat bersih, nama dan alamat produsen, serta tanggal kedaluwarsa di bagian yang mudah tergores atau tertutup lipatan.
  • Menuliskan klaim kesehatan atau klaim “alami” tanpa mempertimbangkan ketentuan yang berlaku sehingga berpotensi memicu pertanyaan dari konsumen.

Untuk produk pangan, pastikan kemasan mengikuti panduan label dan keamanan pangan yang relevan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta standar lain yang berlaku di Indonesia. Ini bukan hanya soal kepatuhan tetapi juga membangun rasa aman dan kepercayaan konsumen pada brand Anda.

Dari sisi pengalaman penggunaan, pikirkan bagaimana konsumen membuka, menutup, dan menyimpan produk. Contoh sederhana: pouch dengan zipper untuk snack yang tidak langsung habis sangat membantu konsumen dan membuat produk terasa lebih premium sehingga layak dibeli ulang.

5. Tidak menguji dan mengukur efektivitas strategi desain kemasan

Salah satu kesalahan terbesar adalah menganggap desain selesai ketika file dikirim ke percetakan. Padahal strategi desain kemasan harus diperlakukan seperti inisiatif pemasaran lain yang bisa diuji, diukur, dan disempurnakan.

Banyak brand di Indonesia melewatkan tahap ini sehingga tidak pernah tahu apakah peningkatan penjualan berasal dari kemasan baru, promosi harga, atau faktor musiman. Akibatnya, keputusan desain berikutnya kembali berdasarkan selera pribadi, bukan data.

Beberapa cara sederhana untuk menguji efektivitas kemasan:

  • A/B test visual di marketplace atau media sosial untuk melihat desain mana yang mendapat klik dan interaksi lebih tinggi.
  • Survei singkat ke pelanggan tetap tentang seberapa mudah mereka memahami informasi di kemasan dan bagian mana yang paling menarik.
  • Observasi langsung di toko: perhatikan seberapa sering produk dipegang calon pembeli lalu dikembalikan tanpa dibeli.
  • Memonitor data penjualan sebelum dan sesudah pergantian kemasan sambil mencatat aktivitas promosi lain yang berjalan.

Dengan pendekatan ini, proses desain tidak berhenti pada penilaian “bagus atau tidak”, tetapi berlanjut ke pertanyaan penting: desain mana yang paling efektif mendorong pembelian ulang dan memperkuat posisi brand? Setiap pembaruan kemasan jadi investasi yang lebih terukur.

Memahami dan menghindari kesalahan umum di atas membantu Anda memaksimalkan setiap rupiah untuk pengembangan kemasan. Hal ini juga memberi pengalaman lebih baik bagi konsumen dari momen pertama melihat produk hingga kemasan terakhir dibuang.

Lanjutkan dengan meninjau desain kemasan yang sudah ada dan catat perbaikan paling penting yang bisa segera dilakukan.

Konsultasikan desain kemasan: https://gpack.co.id

Comments are disabled.